Jumat, 09 Oktober 2009

Renungan Qalbu

1. Bila Cemas Mendatangi Hati

Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad wa'ala aalihi washahbihii ajmai'iin. Saudaraku yang budiman, kita janganlah pernah bermimpi dapat hidup dengan tenang dan bahagia sekiranya kita belum memiliki ilmu yang benar untuk mengarungi belantara dunia yang penuh dengan jebakan, rintangan dan ancaman berbahaya ini.

Cobalah tengok bagaimana kisah tarzan; semua hal yang mungkin dapat menyulitkan dan menyengsarakan, ternyata hal yang mudah saja bagi sang tarzan. Karena ia memiliki kunci pokok untuk mengatasi semua masalah dan kebutuhannnya tersebut, yakni ilmu. Ya tarzan tahu ilmu tentang seluk beluk hutan dan cara mengatasinya.

Tapi bandingkan dengan orang yang masuk ke hutan tanpa tahu seluk beluk hutan, tidak tahu cara menembusnya dan bagaimana menundukan binatang buas yang berkeliaran, niscaya dirinya akan dicekam perasaan tidak tentram, cemas, was-was, dan serba takut, walaupun dia berbekal ransel penuh dengan makanan, minuman, pakaian tahan dingin, dompet penuh uang serta senjata lengkap, tetapi karena tidak berbekal ilmu maka tetap saja kecemasan mendatangi hatinya.

Jadi apa sebenarnya ilmu untuk mengatasi rasa cemas dan was-was tadi? ilmunya hanyalah satu saudaraku, yakni ilmu dari Allah, dzat yang menciptakan dunia beserta segala isinya. Itulah Al Islam, dengan pedoman pokoknya berupa Al Qur’an dan As Sunnah. Semua rahasia kehidupan dunia dan akhirat dibeberkan dengan sempurna dan cermat di dalamnya, sehingga tidak ada satupun urusan, kecuali mesti ada rahasia jalan keluarnya.

Dengan demikian, kalau toh hidup ini kerapkali dicekam perasaan yang kacau balau dan menyengsarakan, maka penyebab pokoknya adalah karena kita kurang memahami ilmu dengan benar.

Dalam sebuah hadits dinyatakan, pada suatu ketika datanglah seseorang kepada Ibnu Mas’ud r.a, sahabat Rasulullah saw, untuk meminta nasihat. Wahai Ibnu Mas’ud, “ujarnya“ "berilah nasihat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang dilanda kecemasan dan kegelisahan. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram.Jiwaku gelisah dan pikiran pun serasa kusut, makan tak enak, tidur pun tidak nyenyak.”

Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud kemudian menasehatinya “Kalau penyakit seperti itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang membaca Al Qur’an, kau baca Al Qur’an atau dengarkanlah baik-baik orang yang membacanya; atau pergilah ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau carilah waktu dan tempat yang sunyi, kemudian berkhalwatlah untuk menyembah-Nya, misalnya di tengah malam buta, ketika orang-orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, memohon ketenangan jiwa, ketentraman pikiran dan kemurnian hati kepada-Nya. Seandainya jiwamu belum terobati dengan cara ini, maka mintalah kepada Allah agar diberi hati yang lain karena hati yang kau pakai itu bukanlah hatimu.

Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkannyalah nasihat Ibnu Mas’ud tersebut. Dia pergi mengambil air wudhu. Setelah itu, diambilnya Al Qur’an, kemudian dibacanya dengan hati yang khusyuk. Selesai membaca Al Qur’an, ternyata jiwanya berubah menjadi sejuk dan tentram, pikirannya pun menjadi tenang, sedangkan kegelisahannya hilang sama sekali. Wallahu a’lam (mq)***
Sumber : Manajemen Qolbu Online [Kajian Bening Hati - Manajemen Diri]
2. Bagaimana Menghadapi Keluh Kesah

Assalamuálaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Aa… ternyata menjalani hidup dikota susah dan banyak sekali permasalahan yang sering kita hadapi, sehingga terkadang saya harus banyak keluh kesah karena masalah sepele, bahkan serasa hidup ini sudah tidak ada kesemangatan lagi. Mudah-mudahan Aa dapat memberikan arahan-arahan yang dapat membauat kesemangatan dalam hidupku ini.

asmin@…com

Wassalamuálaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bapak yang baik, hidup di kota besar semacam Jakarta atau Bandung membutuhkan kekuatan iman dan kekuatan mental. Macet saat di perjalanan dalam waktu-waktu tertentu adalah suatu permasalahan yang kadangkala sering kita hadapi.Tak heran bila untuk sebuah perjalanan, kalau kita tidak memakai strategi yang bagus, tidak memakai perencanaan yang matang, maka kemacetan benar-benar akan mencuri waktu begitu lama.

Terkadang bisa berjam-jam di jalan .Kalau saja tidak berusaha untuk bening hati , sepertinya sepanjang jalan yang terjadi hanya dongkol dan marah-marah. " Aduh , kapan sampainya ! aduh, ini kok lama banget !, Aduh , kok macet terus !" Mungkin ungkapannya seperti itu. Aduh dan aduh. Padahal kata-kata “aduh”, kalau hanya tanda keluh kesah, sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Justru kata-kata yang terlontar ini menunjukan ketidaksabaran kita. Apalagi jika tiba-tiba di pinggir jalan ada kendaraan lain berhenti seenaknya. Kita boleh kecewa dan boleh melihat ini sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Tetapi , tidak berarti kita harus sengsara dengan marah-marah atau berkeluh kesah.

Mata terbeliak dan mulut kadang berucap " minggir , dong !" Mungkin inginnya menghardik seperti itu.Tetapi alangkah lebih baiknya jika kita menyapa dengan kata yang lebih lembut, " Maaf, Pak ! Boleh agak ke pinggir sedikit ! ". Ungkapan seperti ini nampaknya akan lebih ringan ke dalam hati, daripada melotot dengan menggunakan otot. Boleh jadi kalau sudah banyak kedongkolan, selain akan banyak berkeluh kesah, juga akan menjadikan diri lebih emosional. Ini yang paling merugikan . Bagi kita maupun orang lain . Kita harus mengukur kehilangan waktu dalam beberapa menit atau beberapa jam, padahal waktu tersebut sebenarnya dapat menjadi tambahan ilmu dan kemampuan diri kita.

Ada baiknya, selama perjalanan lengkapi diri dengan sumber-sumber ilmu, baik berupa kaset ceramah, nasyid, atau kaset murotal Qur’an. Sumber-sumber ini akan menambah percepatan keilmuan kita, disamping akan membuat kita tidak tergoda untuk ber’aduh ria. "Aduh, terlambat nih !" "Aduh , ada yang ketinggalan nih !" Kata-kata seperti ini sebetulnya tidak perlu dikeluarkan ! Karena tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik kita isi dengan do’a ; " Ya Allah, semoga saya datang tepat waktu, semoga ada jalan keluar dari kemacetan ini ". Kata-kata ini akan lebih produktif dibandingkan dengan kata "aduh". Marilah kita minimalisirkan keluh kesah seperti ini.Apalagi bagi kita pun ada kenikmatan tersendiri bila kita bisa bicara lebih santun. Kesantunan akan membuat batin kita lebih ringan daripada berperilaku emosional.

Lebih dari itu, kelembutan akan mampu menaklukan sesuatu yang tidak bisa ditaklukan dengan kekerasan. Itu sudah bagian dari rumusannya. Karena, kalau orang-orang keras dilawan dengan kekerasan , maka dia akan merasa itu bagiaan dunianya. Tapi , kalau orang-orang yang bertemperamen keras itu diberi kelembutan yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam, Insya Allah mereka akan terbawa lembut juga. Contohnya, orang sekeras Umar bin Khatab atau Khalid Bin Walid bisa jatuh tersungkur menagis oleh lembutnya Al Qur’an.

Berkeluh kesah seringkali pula membuat kita terdramatisi oleh masalah. Seakan-akan rencana dan keinginan kita lebih baik daripada yang terjadi . Padahal , belum tentu . Siapa tahu , dibalik kejadian yang mengecewakan menurut kita, ternyata sarat dengan perlindungan Allah dan sarat dengan terkabulnya harapan-harapan kita. Tiap melakukan kekeliruan , kita ditolong Allah dengan diberi tuntunan-Nya. Tuntunan itu tidak harus dengan terkabulnya keinginan yang kita mohonkan. Bisa jadi terkabulnya do’a itu bertolak belakang dengan yang kita minta. Karena Allah Maha Tahu di balik apapun keinginan kita. Baik keinginan jangka pendek, maupun keinginan jangka panjang. Baik kerugian duniawi maupun kerugian ukhrowi. Baik kerugian secara materi maupun kerugian secara mental .

Kita tidak bisa mendeteksi secara cermat. Kadang-kadang kita hanya mendeteksinya sesuai dengan keperluan hawa nafsu kita. Kelihatannya sepele mengaduh ini. Tetapi, itu akan menjadi kualifikasi pengendalian diri kita. Ketahuilah bahwa kualitas seseorang itu tidak diukur dengan sesuatu yang besar-besar, tetapi oleh yang kecil-kecil. Kalau kita ingin melihat sebuah kompleks perumahan yang berkualitas, mka kita lihat saja panjang pendek rumput dihalamannya. Kalau berkualitas dan terawat dengan baik, maka rumputnyapun nampak terawat dengan baik.Marilah kita respon setiap kejadian demi kejadian dengan respon lisan yang positif, mengapa ? karena setiap respon akan mempengaruhi persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi dan cara kita menyelesaikannya.

Lebih dari itu akan berdampak pula kepada orang-orang di sekitar kita. Jadi , sapaan-sapaan, teguran-tguran, komentar-komentar, celetukan-celetukan kita ini harus benar-benar bernilai produktif. Tidak hanya berarti bagi diri kita, tetapi juga bagi orang di sekitar kita.Apalagi keluh kesah termasuk penyakit hati, yaitu bentuk ketidaksabaran kita dalam menerima ketentuan dari Allah. Ada Hadits Qudsi yang menyatakan bahwa " Barangsiapa yang tidak ridho terhadap ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas musibah dari-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku.. " (HQR Bukhoti-Muslim). Dari Hadits Qudsi ini, nampaklah bahwa segala apapunyang Allah karuniakan kepada kita, maka kita harus menerimanya dengan ridho. Oleh karenanya, kita tidak perlu banyak mengaduh atau berkeluh kesah. Sedapat mungkin kurangi aduh mengaduh ini . Jauh akan lebih produktif jikalau kita optimalkan waktu dengan banyak berdo’a dan menambah kualitas keilmuan diri serta terus menyempurnakan ikhtiar di jalan yang Allah ridhoi. Wallahua’lam bishawab.
Sumber: Cyber MQ [Mata Air]
3. Menjadi Pribadi Yang Bijak

Bismillaahirrahmanirrahiim,

Satu ciri ketakwaan seseorang kepada Allah adalah sifat bijak dalam kehidupannya. Yaa Ayyuhan naasu innaa khalaqnaakum min dzakariw wa untsa wa ja'alnaakum syu'uubaw waqabaa-ila li ta'aarafuu inna akramakum'indallahi atqaakum innallaha 'aliimun khabiir (Qs.Al-Hujuraat ayat 13). "Hai sekalian manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti". Ciri orang yang bertaqwa adalah dia merupakan orang yang bijaksana. Pertanyaan pertama ketika kita bercermin adalah apakan diri ini sudah bijak, jika jawabannya belum maka jadikanlah hal ini sebagai sebuah cita-cita.

Jika ada yang mengatakan rindu pemimpin yang bijak, jika kita mengatakan bahwa bangsa ini krisis keteladanan, maka jangan mencari teladan karena susah untuk ditemukan, untuk itu yang paling mudah adalah menjadikan kita sebagai tauladan paling tidak untuk keluarga, janganlah menuntut untuk mendapatkan presiden yang bijak karena akan susah untuk didapat, karena itu yang dapat kita lakukan adalah menuntut diri kita sendiri. Orang yang bijaksana itu merupakan suatu keindahan tersendiri, misalkan ketika menjadi seorang guru yang bijak biasanya sangat disukai oleh murid-muridnya. Seorang pemimpin yang bijak biasanya ia disegani oleh kawan maupun lawan, jika orang tua bijaksana maka akan dicintai oleh anak-anaknya.

Pada dasarnya kebijakan ini tidak susah untuk dimiliki. Ud'u illa sabiili rabbika bil hikmati wal mau 'izhatil hasanati, wa jaadilhum billatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa'alamu bi man dhalla 'an sabilihii wa huwa a'lamu bil muhtadiin. Artinya: "Serulah kepada jalan (agama) Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara sebaik-baiknya, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk".

Sumber kearifan dan kebijaksanaan dapat datang dari :

1. Sikap hidupnya yang siddiq yaitu orang yang sangat menyukai kebenaran, sekuat tenaga hidupnya berusaha berbuat benar dan selalu ingin membuat orang menjadi benar, semangat didalam hati akan cinta terhadap kebenaran, istiqomah dalam kebenaran dan ingin orang juga memiliki sikap yang benar maka hal tersebutlah yang membuat orang menjadi bijaksana.

2. Sikap hidup yang amanah, rasa tanggung jawab karena hidup yang hanya sekali dan ingin mempertanggung jawabkan hidup ini baik sebagai anak, ayah, orang tua, anggota masyarakat, sikap amanah ini timbul dari dalam jiwa kita.

3. Sikap hidup Fathonah, berwawasan luas, berilmu luas jadi begitu banyak pilihan sikap yang merupakan buah dari kecerdasan.

4. Sikap hidup yang Tabligh adalah dapat menyampaikan sesuatu dengan baik kebenaran. Sehingga menyebabkan mendapatkan sesuatu yang diinginkan tanpa merusak tatanan yang ada.

BAGAIMANA CARA MENJADI ORANG YANG BIJAK

1. Tidak Emosional, hal itu berarti orang yang temperamental, mudah marah, meledak-ledak, gampang tersinggung, sulit menjadi bijaksana dan hanya dapat menjadi bijak dengan pertolongan Allah dan kegigihan usaha untuk berubah, jadi orang yang bijak adalah orang yang terampil mengendalikan diri. Berhati-hatilah jika kita termasuk orang yang mudah marah maka jika bertindak biasanya cenderung tergesa-gesa. Orang-orang yang emosional tersinggung sedikit akan sibuk membela diri dan membalas menyerang, ini tidak bijaksana karena yang dicari adalah kemenangan pribadi bukan kebenaran itu sendiri.

2. Tidak egois, orang yang egois jelas tidak akan dapat menjadi bijak, karena bijak itu pada dasarnya ingin kemaslahatan bersama, orang yang egois biasanya hanya menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Rasulullah selalu hidup dalam pengorbanan, begitu pula Indonesia dapat merdeka oleh orang-orang yang berjuang penuh pengorbanan. Orang yang bijak adalah orang yang mau berkorban untuk orang lain bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri.

3. Suka cinta dan rindu pada nasihat, akan sangat bodoh jika kita masuk hutan tanpa bertanya kepada orang yang tahu mengenai hutan. Jika kita di beri nasihat seharusnya kita berterima kasih. Jika kita tersinggung karena di sebut bodoh maka seharusnya kita tersinggung jika disebut pintar karena itu tidak benar. Jika kita alergi terhadap kritik, saran, nasehat atau koreksi maka kita tidak akan bisa menjadi orang yang bijak. Jika seorang pemimpin alergi terhadap saran atau nasehat, bahkan memusuhi orang yang mengkritik, maka dia tidak akan pernah bisa memimpin dengan baik.

4. Memiliki kasih sayang terhadap sesama, Rasa sayang yang ada diharapkan tetap berpijak pada rambu-rambu yang ada seperti ketegasan. Diriwayatkan bahwa orang yang dinasehati oleh Rasulullah secara bijak berbalik menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Orang-orang yang bijak akan sayang terhadap sesama. Berbeda dengan orang-orang yang hidup penuh dengan kebencian, dimana kepuasan bathinnya adalah menghancurkan orang lain. Pemimpin sebaiknya memiliki kasih sayang yang berlimpah tidak hanya pada waktu kampanye saja. Kasih sayangnya juga tidak hanya untuk satu pihak atau kelompok melainkan merata untuk semua golongan.

5. Selalu berupaya membangun, Orang yang bijak tidak hanyut oleh masa lalu yang membuat lumpuh tetapi selalu menatap ke depan untuk memperbaiki segalanya. Orang yang bijak akan membangkitkan semangat orang yang lemah, menerangi sesuatu yang gelap. Jika melihat orang yang berdosa, maka ia akan bersemangat untuk mengajak orang tersebut untuk bertaubat. Orang yang bijak ingin membuat orang maju dan sangat tidak menyukai kehancuran dan kelumpuhan kecuali bagi kebathilan. Semangat orang yang bijak adalah semangat untuk maju tidak hanya untuk dirinya tetapi juga bagi orang lain disekitarnya.

Jadi yang dibutuhkan pada seorang pemimpin bijak adalah pribadi yang tidak emosional, tidak egois, penuh kasih sayang, cinta akan nasihat dan memiliki semangat terus menerus untuk membangun dirinya, ummat serta bangsa ini, dia tidak akan peduli walaupun dibalik kebangkitan yang ada dia mungkin akan tenggelam. Pemimpin yang bijak tidak peduli akan popularitas dan tidak peduli dengan adanya pujian manusia karena kuncinya adalah ketulusan dan tidak mengharapkan apapun dari yang telah di lakukan, adalah tidak akan bisa bijak jika kita mengharapkan sesuatu dari apa yang kita lakukan. Kita hanya akan menikmati sikap bijak jika kita bisa memberikan sesuatu dari rizki kita, bukannya mengharapkan sesuatu dari yang kita kerjakan.

Alhamdulillaahirobbil’alamin

Sumber: Buletin InfoDT Jakarta - No.13/Tahun IV/Agustus 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar